-->

Status Gizi Anak Anak Indonesia




Saat ini belum banyak data mengenai status gizi anak-anak Indonesia.
Padahal status gizi anak-anak ini turut mempengaruhi sumber daya yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia.



Hasil studi South East Asia Nutrition Survey (SEANUTS) yang melibatkan 4
negara di Asia Tenggara yaitu Indonesia, Malaysia, Vietnam dan Thailand
ini dilakukan untuk mengetahui status gizi anak sehingga nantinya dapat
menyusun program intervensi yang tepat.



"Survei ini melibatkan 7.200 anak berusia 6 bulan sampai 12 tahun dan
bertujuan untuk mengetahui status gizi anak Indonesia," ujar Dr
Sandjaja, MPH, ketua tim peneliti SEANUTS Indonesia dalam acara
Konferensi Nasional SEANUTS di Hotel Bidakara




Dr Sandjaja menuturkan masalah gizi konsekuensinya tidak hanya di
kesehatan, tapi juga pengaruhi produktivitas, perkembangan mental dan
IQ. Pada studi lain diketahui gizi buruk bisa menurunkan IQ sebanyak 13
persen.



Survei ini dilakukan di 48 kabupaten/kota, 96 desa dan 25 propinsi yang
hasilnya cukup memadai dan mewakili kondisi nyata dari masalah gizi
makro dan mikro anak-anak Indonesia.



"Dasarnya bervariasi, mulai dari Jakarta lokasi yang elit sampai Papua.
Kita pilih anak-anak yang sehat karenanya bekerja sama dengan puskesmas,
tapi kalau dapati anak yang sakit tetap kita obati," ungkapnya.



Hasil survei ini mendapati beberapa fakta baru mengenai status gizi yang dimiliki oleh anak-anak Indonesia, yaitu:



1. Prevalensi kekurangan vitamin A sudah jauh menurun, tingkat
kekurangan vitamin A pada anak usia 24-59 bulan sebesar 0,6 persen dan
usia 5-12 tahun sebesar 0,7 persen.




"Sekarang rendah, kurang dari 1 persen karena pemerintah memberikan
kapsul suplementasi vitamin A dari mulut ke mulut dan cakupannya
tinggi," ujar Dr Minarto, MPS, direktur Bina Gizi Masyarakat Kemenkes.



2. Kadar vitamin D di bawah 40 nmol/L pada anak usia 24-59 bulan adalah
11,9 persen dan anak usia 5-12 tahun sebesar 12,5 persen. Sedangkan
untuk kadar vitamin D di bawah 50 nmol/L pada anak usia 24-59 bulan
sebesar 41,4 persen dan anak usia 5-12 tahun sebesar 46,7 persen.



3. Prevalensi anemia berdasarkan pengukuran hemoglobin pada anak usia
24-59 bulan adalah 13,4 persen dan anak usia 5-12 tahun sebesar 12,7
persen. Sedangkan prevalensi anemia berdasarkan kadar ferritin dalam
darah pada anak usia 24-59 bulan adalah 13,2 persen dan anak usia 5-12
tahun adalah 3,7 persen.



4. Ekskresi iodium kategori defisiensi (kurang 100 mcg/L) adalah 11,5
persen, sedangkan ekskresi iodium kategori lebih dari cukup (lebih dari
200 mcg/L) adalah 14,9 persen.



5. Anak laki-laki yang tinggal di daerah pedesaan lebih aktif dari anak
perempuan, sebaliknya anak perempuan yang tinggal di daerah perkotaan
lebih aktif dari anak laki-laki.




6. Kondisi stunting parah lebih banyak terjadi pada anak laki-laki
dibanding perempuan dengan perbedaan sekitar 2,2 persen pada usia
balita, sedangkan untuk usia 5-12 tahun perbedaanya sebesar 2,2 persen.



7. Sekitar 1,1 persen anak di pedesaan mengalami kondisi gizi buruk
parah, sedangkan sekitar 6,9 persen mengalami kondisi gizi buruk. Pada
kondisi ini seseorang kehilangan jaringan lemak dan otot akibat tubuh
mengalami kondisi kekurangan gizi yang bersifat akut.



"Hasil ini menunjukkan pencapaian program pemerintah dalam meningkatkan
status vitamin A pada anak melalui program pembagian kapsul vitamin A
dosis tinggi 2 kali setahun dan peningkatan status yodium melalui
yodisasi garam terbukti efektif," ujar Dr Minarto.



Lebih lanjut Dr Minarto mengungkapkan hasil ini juga menunjukkan masih
ada beberapa indikator gizi yang harus diperhatikan di antaranya status
vitamin D pada anak, stunting, underweight (kurang gizi termasuk gizi
buruk) dan anemia.



Dr Minarto menjelaskan saat ini Indonesia memiliki 3 bentuk masalah gizi
yaitu kekurangan zat gizi mikronutrien, masalah gizi kurang dan
stunting serta masalah kelebihan gizi. Meski begitu saat ini sudah
diketahui apa yang perlu dilakukan dan tinggal penerapannya saja.




Sumber

Anda mungkin menyukai postingan ini

Posting Komentar